Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Direktur Gerakan Masyarakat Papua Lestari (GEMAPALA) Nikolas Djemris Imunplatia saat mengikuti seri 3 diskusi daring pengelolaan produk inovatif dengan tajuk Pala dan Budaya Fakfak yang menjadi bagian dari Program PAPeDA, Jumat (20/8).

Direktur GEMAPALA Sebut Pala Adalah Bagian Budaya Fakfak



Berita Baru, Jakarta – Direktur Gerakan Masyarakat Papua Lestari (GEMAPALA) Nikolas Djemris Imunplatia menyebutkan bahwa pala tidak hanya menjadi komoditas ekonomi bagi masyarakat Kabupaten Fakfak, namun sudah menjadi bagian dari budaya.

Hal itu disampaikan Djemris saat menjadi pemateri pada seri ketiga Diskusi Pengelolaan Produk Inovatif Pangan Papua: Festival Torang Pu Para Para bertajuk Pala dan Budaya Fakfak yang merupakan bagian dari Program Pertanian Berkelanjutan di Tanah Papua (PAPeDA), Jumat (20/8).

“Pala ini sudah menjadi budaya masyarakat Kabupaten Fakfak. Bahkan, menjadi lambang Kabupaten Fakfak adalah pala,” tutur Djemris.

Dalam serial diskusi yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) dan didukung oleh The Asia Foundation (TAF) itu, Djemris juga mengatakan bahwa 75 persen suplai pala di dunia adalah Indonesia, dan Papua Barat menjadi daerah penyumbang kelima terbesar pala di Indonesia.

“Di Papua Barat sebagian besar dihasilkan dan diproduksi oleh Kabupaten Fakfak … Ini adalah hasil ratusan tahun. Sebelum Indonesia merdeka, pala menjadi komoditas unggulan dari masyarakat asli kabupaten Fakfak, bahkan sampai diekspor,” tutur Djemris, dalam acara yang juga ditayangkan melalui Youtube Asmat Papua Official, Youtube Beritabaruco, dan Facebook Beritabaru.co ini.

Pemanfaatan pala di Kabupaten Fakfak yang belum maksimal, menurut Djemris menjadi perhatian penting bagi GEMAPALA, pasalnya masyarakat Kabupaten Fakfak hanya memanfaatkan biji dan selaputnya saja.

“Inilah yang mendorong kami dari GEMAPALA untuk mendorong bahwa ini menjadi komoditas yang berkelanjutan. Sampai sekarang kami akui belum maksimal dalam pemanfaatan pala. Karena yang dimanfaatkan masyarakat hanya biji dan selaputnya, sementara yang dagingnya dibuang dan jadi sampah menumpuk di bawah pohon-pohon,” kata Djemris.

Djemris menegaskan, pala tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat Fakfak, karena itu sudah melekat dari turun temurun. Bahkan, di Fakfak pohon pala dilarang untuk ditebang.

“Di budaya Fakfak, kalau ada pala di situ, menurut tradisi masyarakat, tidak boleh ditebang, hanya boleh diambil buahnya. Itu adalah pesan dari leluhur,” tegasnya.

Kendati demikian, komoditas pala menurut organisasi endemik internasional, menurut Djemris termasuk ke dalam golongan endemik yang terancam punah.

“Pala Fakfak digolongkan terancam, maka kita harus mengembangkan, karena ini hanya ada di Fakfak, maka kita harus kembangkan dan jaga,” tegas Djemris.