Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pilkada Sudah Semestinya Menyatukan Pemilih



Oleh : Nandang Kurniawan

Tanpa terasa, tiga hari menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020. Dalam ajang pesta demokrasi yang dilakukan lima tahun sekali tersebut sudah semestinya menjadi wadah untuk mempersatukan pemilih guna memilih pemimpin yang terbaik bagi kepentingan pelayanan publik dan kepemimpinan daerah. Dalam kehidupan politik ada berbagai pilihan sistem, salah satu dari pilihan tersebut ialah demokrasi. Hal ini merupakan pilihan Indonesia sebagai negara republik sejak proklamasi kemerdekaan tujuh puluh lima tahun silam.Demokrasi ini guna menjamin kebebasan berpendapat termasuk di media massa ataupun media sosial (medsos), akan tetapi kebebasan ini haruslah disertai dengan tanggung jawab.

Pilkada sudah semestinya menyatukan pemilih untuk mencoblos yang terbaik bagi kepentingan pelayanan publik dan kepemimpinan daerah. Demokrasi dari zaman ke zaman tentu akan menemukan problem yang berbeda. Sebagaimana hari ini perkembangan teknologi informasi yang sangat canggih dengan penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi utama dapat di jadikan salah satu media kampanye gratis untuk pasangan calon (paslon) ataupun tim pemenangan paslon. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya, apakah para paslon ataupun tim pemenangan paslon itu dapat bijak dalam menggunakan media sosial karena jika tidak , dampaknya terhadap kehidupan demokrasi adalah mudah tersebarnya hoax atau fake news (kabar bohong) atas nama kebebasan. Segregasi dan provokasi sangat mudah memicu sentimen dan gerak massa, situasi ini bila tidak diantisipasi secara proaktif dan bijaksana, sudah barang tentu akan menghadirkan kontestasi politik yang jauh dari damai.

Kedamaian pilkada akan terwujud jika kampanye benar-benar jadi ajang edukasi politik untuk adu gagasan dan program calon. Bukan sebaliknya menjelekkan paslon lain, marak pelanggaran, kecurangan, dan tindakan memecah. Dan hal ini pun menjadi peringatan dini bagi masyarakat agar menyadari situasi yang sedang dihadapi dan bijak mengambil sikap. Menjadi peringatan bagi paslon agar mengedepankan kampanye yang terhormat dan bermartabat untuk mencegah perpecahan dan keterbelahan bangsa.

Kampanye yang membelah publik hanya memberi dampak buruk bagi pemerintahan daerah dan agenda pembangunan pasca pilkada. Kampanye hitam dan menyebarkan kebencian adalah kampanye jahat yang membuat defisit demokrasi. Cara rendahan untuk mendulang kuasa dengan mengabaikan martabat kompetisi.

Untuk itu, penting mengingatkan kembali para pihak, Pasal 69 UU No. 10/2016 mengatur sejumlah larangan yang tidak boleh dilakukan selama masa kampanye. Selain tegas mengharamkan politik uang, dalam kampanye juga dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau partai politik. Dilarang melakukan kampanye menghasut, memfitnah, dan mengadu domba. Serta dilarang menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan. Melanggar ketentuan ini berarti telah melakukan tindak pidana dan akan dikenai sanksi berat berdasar aturan yang ada.

Sehubungan itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan penyelenggara pemilu, pemilih, dan paslon, agar kampanye damai bukan sebatas simbol artifisial. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), institusi negara terkait, dan paslon, harus terus melakukan pencegahan dan sosialisasi yang terhubung dalam melawan kampanye jahat. Peta jalan bersama antara penyelenggara, kementerian/lembaga terkait, dan aparat penegak hukum harus disusun terintegrasi agar kerja pencegahan tidak sektoral dan kasuistis.

Jika pendekatan persuasif telah dilakukan dan tetap terjadi pelanggaran, maka aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi penegakan hukum secara tegas. Bawaslu sebagai pengawas, bersama aparat penegak hukum yang bernaung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) harus berani dan tidak boleh pasif. Kesepahaman dan kesamaan komitmen di antara mereka harus solid dari mulai elit sampai jajaran lapangan.

Bawaslu dan aktor negara terkait jangan hanya intensif menandatangani nota kesepahaman namun lembek saat berhadapan dengan pelanggaran di lapangan. Keterlambatan dalam proses pengungkapan dapat membuat perilaku yang sama menyebar tanpa kendali. Sikap pasif dan lambat jajaran Bawaslu, bisa berakibat ketidakpercayaan dari masyarakat dan peserta pilkada.

Bibit kampanye jahat harus ditindak dan diadili, tentu dengan cara-cara yang menjunjung tinggi penghormatan pada hak asasi warga negara. Agar ada efek jera bagi mereka yang mau coba-coba. Namun, Bawaslu sebagai komandan pengawasan pilkada, wajib transparan dalam memproses dan mengungkap kasus-kasus yang ada, baik politik uang, intimidasi, kampanye hitam, maupun penyebaran kebencian. Karena transparansi akan menghilangkan sekat-sekat kecurigaan di antara para pihak dan menjaga akuntabilitas kerja jajaran Bawaslu.

Setelah komponen di atas terlaksana maka masyarakat pun harus bijak memilah dan mencerna informasi. Rawatlah nalar dan nurani dengan memelihara jiwa kritis dan perilaku tabayyun. Tabayyun jika benar-benar dipraktikkan umat, niscaya tak akan memberi ruang bagi hadirnya kampanye jahat dan provokasi pilkada. Tradisi tabayyun mengharuskan pemilih meneliti dan menyeleksi suatu berita, tidak secara tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu sampai jelas benar permasalahannya, sehingga tidak ada pihak yang merasa dizalimi atas suatu keadaan.

Penting bagi pemilih untuk mengkonfirmasi atau menguji validitas data dan informasi yang diterima. Agar tidak terjebak dalam agenda jahat para oportunis pilkada.

*Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Way Kanan