Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tampak depan buku ‘Sang Guru Pamong’. Foto Pecandu Sastra. Ist

Mengarungi Keteladanan Sang Guru Pamong



“Pada dasarnya, aku benci pelanggaran. Praja yang sengaja menyimpang dari ketentuan, artinya telah mengkhianati negeri ini. Karena seluruh fasilitas pendidikan yang mereka peroleh berasal sepenuhnya dari uang rakyat Indonesia. Itulah makanya, aku kerap menyemprot mereka; sekolah nggak bayar aja sombong. Gombal kalian!” (Indrarto, hal 229).

Sepenggal kalimat di atas yang saya kutip dari buku “Sang Guru Pamong” karya Pak Indrarto dan Jose Rizal ini secara tidak langsung menampar diri saya, meski saya bukan seorang pegawai negeri sipil (PNS).

Buku yang mengangkat kisah kehidupan di sekolah pamong dengan tebal xxx + 474 halaman ini menceritakan kisah seorang Pak Indrarto yang merupakan pengasuh sekaligus pendidik di sekolah pamong. Sosok yang menjaga kedisiplinan, tanggungjawab, mencintai tugasnya, mengayomi anak didik, memberikan contoh terlebih dahulu, berintegritas, dan sebagainya.

Karakter yang dimilikinya, bagi saya sangat harus dimiliki pula bagi seorang PNS. Tidak hanya murid-murid di sekolah pamong (APDN, STPDN, dan IPDN) saja.

Sosoknya sangat layak dijadikan rol model untuk PNS. Sebab, selama ini kita tahu bagaimana seorang tentara yang ideal; seperti Jenderal Soedirman. Polisi yang ideal seperti Jenderal Hoegeng. Namun, untuk pegawai negeri yang ideal belum ada yang menonjol. Padahal, banyak dari kita yang berkeinginan menjadi seorang PNS. Artinya, PNS ini sangat dekat dengan kehidupan kita, namun belum ada pahlawannya.

Banyak teladan yang bisa diambil dari Pak Indrarto, salah satunya pantang terima suap. Karena baginya, ia bekerja langsung kepada Allah.

Saya mengutip sebuah percakapan saat Pak Indrarto turut dalam penyeleksian calon mahasiswa sekolah pamong. Suatu ketika ia dihampiri seorang bapak yang seketika itu berdiri di hadapannya dengan memegang sebuah amplop tebal. Nampaknya si bapak itu meminta agar Pak Indrarto dapat membantu dalam hal kelulusan anaknya.

“Bapak ingin anaknya lulus?” ujar Pak Indrarto kepada bapak itu.
“Iya Pak. Saya sangat berharap.”
“Saya juga.”
“Lho! Tapi kenapa bapak menolak ini?”
“Maksud bapak apa sih? Saya tidak mengerti.” -“Saya juga ingin lulus ujian.”
“Ujian?”
“Ya. Saya saat ini juga lagi diuji.”
“Saya belum mengerti.”

“Penguji saya yang pertama adalah Allah. Penguji saya yang kedua adalah pimpinan saya, dan penguji saya yang ketiga adalah bapak sendiri.”

Seketika, bapak itu pun pergi bersama amplop tebalnya meninggalkan Pak Indarto.

Banyak kisah menarik lainnya yang termaktub dalam buku ini. Kisah-kisah yang akan menjadi renungan serta tamparan bagi kita. Meski memiliki latar belakang pegawai negeri, hikmah dalam kisah ini dapat diterapkan dalam hal-hal di kehidupan ini. Banyak ilmu yang dapat dipetik, serta kisah yang menjadi pertanyaan-pertanyaan kepada diri; mampukah saya seperti pribadi Pak In? Kedisiplinan, tanggungjawab, integritas, dan sebagainya. Meski tidak bisa semuanya, minimal setengah atau seperempat.

Sangat salut dengan pribadi beliau yang begitu komitmen. Bahkan untuk hal sekecil apapun, beliau tetap berusaha menjaga. Beliau tidak pernah sedikit pun memanfaatkan jabatan atau kedudukan beliau sebagai guru, maupun abdi negara untuk kepentingan pribadi juga keluarga. Buku ini sangat layak baca dan menjadi perenungan, terlebih bagi para abdi negara.

Peresensi: Pecandu Sastra

*** Pecandu Sastra merupakan seorang jurnalis. Aktif di IPNU, dan pernah di PMII, dan Banser NU Way Kanan ini hobi menulis puisi, opini, sajak, cerpen, dan prosa lainnya. Suka kopi, baca buku, dan review buku. Penyuka warna biru ini bisa dihubungi melalui email: [email protected] atau instagram @pecandusastra96.